Senin, 25 April 2016

Prosa : Si Lugu dan Si Malin Kundang




Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya.
Ada apa ini?” katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang bawaannya di sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan kepalanya dari dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar.
Orang tua ini mau masuk ke dalam. Dia berkeras kalau salah seorang penghuni rumah mewah yang kujaga ini adalah anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa menyebut nama anaknya. Sedang yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah rumah tidak dapat dia sebutkan. Maka aku tidak mempercayainya.”
“Bapak tentu datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
Polisi itu memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa tidak jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga. Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur.
“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.
“Maaf Bapak. Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput. “Coba Bapak katakan apa yang ingin Bapak lakukan bila kami izinkan Bapak masuk ke dalam kompleks perumahan mewah ini?”
“Aku akan mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah ini.”
“O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah yang harus menangani orang tua itu.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut:
Apa maksud orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.
“Ya, betul. Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang pemilik rumah mewah ini.”
“Apa Engkau mau menjadi batu?”
Polisi lalu lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon.
Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya, itu adalah ayah!”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayah!” Katanya.
Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.
“Ayo, Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.
“Malin Kundang,” katanya. Anak dan menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu. Pintu ditutup si anak. Dia masuk menyusul istrinya di kursi belakang. Si sopir membuka pintu dan turun mengambil satu per satu bawaan lelaki tua itu. Mula-mula dia angkat satu tandan pisang, lalu dua ikat jagung, dan kemudian satu buah nangka. Semua dia masukkan ke tempat barang di buntut mobil.
“Ayah juga membawa ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.”
“Maafkan mereka ayah. Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.”
Penjaga kompleks perumahan mewah itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya dan tampak dia terbingung-bingung. Polisi lalu lintas itu terpaku memerhatikan semua kejadian itu. Dia setengah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Polisi lalu lintas itu masih juga terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya. Dia naik ke atas kendaraan roda duanya, menghidupkan mesin, dan meneruskan perjalanannya menuju markas kepolisian tempat dia bekerja. Dia terus memacu kendaraannya, lalu membelok ke dalam halaman markas. Dia sampai ke ruang markas. Masuk ke salah satu ruang dan melepas helm. Dia duduk sebentar lalu seperti teringat sesuatu. Dia beranjak dan pergi ke kamar kecil, membasuh popor pistol dari darah ayam yang sudah mengering. Kemudian dia kembali ke ruang tempat dia tadi duduk. Waktu melintas di depan gudang penyimpanan barang-barang, dia lihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Lewat pintu yang sedikit renggang dia lihat patung dari bahan semen tersimpan di dalam. Selama ini dia tidak tertarik untuk masuk ke dalam dan memerhatikan patung-patung itu dari dekat. Sekarang tiba-tiba dia tertarik. Apakah setelah mendengar ucapan orang tua itu dia lalu tertarik masuk ke dalam untuk melihat patung-patung itu lebih dekat. Dia tersenyum, lalu dia buka pintu gudang itu lebih lebar. Tampak patung-patung memberi hormat kepadanya. Dia senyum membalas hormat patung-patung itu.
“Mirip betul. Mirip betul dengan diriku kalau aku mengenakan pakaian dinas. Pematung yang terampil. Dia berhasil memindahkan profesi polisi lalu lintas ke dalam diri patung-patung ini.” Dia kembali senyum memandang satu per satu patung-patung itu.
Patung-patung polisi lalu lintas itu belum semua terpasang di tempat-tempat strategis di jalan-jalan kota.
Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”
Lelaki yang didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.
“Aman Pa. Jalan saja.”
“Jangan. Kita harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.”
“Di sebelah mana? Aku tidak melihat ada polisi.”
“Sebelah kiri di depan kita.”
“O, itu. Itu kan patung.”
Orang tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
“Ya Allah. Polisi itu…, menjadi batu….” ***
Hamsad Rangkuti (28 Oktober 2007)


ANALISIS STRUKTUR CERPEN SI LUGU DAN SI MALIN KUNDANG  KARYA HAMSAD RANGKUTI

1. Analisis Alur dan Pengaluran
Alur mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sebuah cerita, hal ini berhubungan dengan pola jalan cerita. Bisa disimpulkan bahwa alur merupakan sebuah rangkaian peristiwa atau pun kejadian yang mempunyai hubungan kausalitas (sebab-akibat). Dalam mengkaji alur dan pengaluran dari cerita Malin Kundang Menjadi Batu, penulis akan menggunakan Segmentasi Episodik dalam menentukan alur dan pengalurannya. Berikut Inilah Segmentasi Episodik dalam cerpen Si lugu dan Si Malin Kundang.
Episode 1
s                                                                    t                                                    s”
Orang tua yang di hambat          Polisi lalu lintas datang          Orang tua itu ingin masuk kompleks perumahan        dan ikut campur                           bertemu anaknya     mewah oleh sekuiriti                         
Episode 2
s                                                                    t                                                    s”
Orang tua itu ingin      Polisi itu meragukan Orang tua               Orang tua itu tetap
bertemu anaknya        yang menyebut anaknya penghuni          ingin masuk rumah
Kompleks yang mewah ini karena          mewah itu
orangtua itu berasal dari kampung                 
Episode 3
s                                                                    t                                                    s”
Orang tua itu tetap ingin       Polisi tetap tidak ngijinkan      Polisi  menghina orang
masuk rumah mewah itu      dan masih tidak percaya           tua itu dengan sebutan                                               pada orang tua itu                fakir miskin
Episode 4
s                                                                    t                                                    s”
Polisi menghina orang           Orangtua itu menyebut polisi     Polisi itu tua terkejut tua itu dengan sebutan                       itu Malin Kundang, dan            namun tetap merasa                                                 akan di kutuk menjadi batu       tidak percaya orang                                                                                                       tua itu ayah pemilik
                                                                                                  rumah mewah itu
Episode 5
s                                                                    t                                                    s”
Polisi itu terkejut namun         Seorang lelaki dan istrinya       Seorang lelaki itu tetap merasa tidak percaya             datang dengan sebuah mobil    melihat bahwa orang
orang tua itu ayah pemilik       mewah                                       tua itu ayahnya
rumah mewah itu                                                                   


Episode 6
s                                                                    t                                                    s”
Seorang  lelaki itu melihat       Orangtua dan lelaki itu              Polisi itu tercengang bahwa orang tua itu                 berpelukan dan meneteskan     melihat peristiwa itu
ayahnya                                   air mata

Episode 7
s                                                                    t                                                    s”
Polisi itu tercengang              Orangtua itu kembali         Polisi itu terpaku, seakan
melihat peristiwa itu              memanggil polisi itu           tidak percaya dan bingung
         “Malin Kundang”                                 
Episode 8
s                                                                    t                                                    s”
Polisi itu terpaku,           Orang tua itu pergi menaiki              Orang tua itu merasa
seakan tidak percaya      mobil mewah dengan anaknya         iba dan menduga                        dan bingung                   dan melihat patung-patung                  polisi itu menjadi
                                       polisi dalam guyuran hujan               batu.
   di pinggir jalan
                                               
Ada delapan episode dalam cerpen Si lugu dan  Si Malin Kundang ini. Semuanya memperlihatkan transformasi dalam cerita. Cerita ini dimulai dari Orang tua yang di hambat masuk kompleks perumahan mewah oleh sekuriti karena masalah sepele yaitu orang tua itu berasal dari kampung, padahal orangtua tersebut sudah jauh-jauh pergi ke perumahan mewah itu hanya untuk bertemu anaknya. Polisi lalu lintas pun datang dan berusaha ikut campur dan meragukan orangtua itu yang menyebut anaknya penghuni kompleks mewah itu. Polisi dan sekuriti pun membunuh ayam bawaan orangtua itu dari kampung karena ayam tersebut katanya pembawa virus. Namun orangtua itu tetap pada pendiriannya untuk  masuk rumah mewah itu tetapi polisi lalu lintas itu tetap juga tidak memberi ijin dan tidak percaya, bahkan polisi lalu lintas itu menyebut orangtua itu seperti fakir miskin.
Kemudian tranformasi kembali terjadi ketika orangtua itu di sebut fakir miskin oleh polisi lalu lintas, kemudian orang tua itu memanggil polisi itu dengan sebutan Malin Kundang yang akan menjadi batu. Polisi itu pun merasa kaget, tercengang dan bingung. Datanglah seorang lelaki dan istrinya di mobil yang mewah. Lelaki itu menyebutkan bahjwa itu ayah, turunlah lelaki itu dan istrinya dari mobil dan anak dan ayah pun saling berpelukan dengan meneteskan air mata. Polisi itu tercengang melihat peristiwa iotu dan seakan tidak percaya. Dan orangtua itu kembali menyebut polisi itu malin kundang, orang tua itu menaiki mobil mewah dengan anaknya, di dalam mobil selama perjalanan orang tua itu melihat patung-patung polisi dalam guyuran hujan di pinggir jalan dan orang tua itu merasa iba dan menduga bahwa patung itu adalah polisi lalu lintas tadi.



2. Tokoh dan Penokohan
Dalam cerpen Si Lugu dan Si Malin Kundang terdapat beberapa tokoh yang ada dalam cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” sehingga alur cerita menjadi jelas dan menarik, yaitu tokoh Ayah, Sekuriti Kompleks, Polisi Lalu Lintas, Anak dan Menantu.
Ayah adalah orangtua dari anak pemilik kompleks mewah yang berasal dari kampung. Tokoh ayah ini memiliki watak yang teguh pendirian. Hal itu terbukti saat orang tua itu bersikeras akan menemui anaknya yang kaya raya. Berikut kutipan ceritanya.
“Aku tetap akan mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah ini.”
 “O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
Polisi lalu lintas adalah seorang polisi yang mengurus lalu lintas. Tokoh polisi lalu lintas berwatak arogan, ikut campur urusan orang lain, dan suka melecehkan orang. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Sekuriti adalah penjaga kompleks perumahan mewah, tokoh sekuriti ini meremehkan oranglain dengan memandang orang sebelah mata, ia menghambat orangtua masuk kompleks hanya dengan alasan orangtua itu dari kampung. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.

“Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam”
Lelaki adalah anak dari ayah yang dari kampung, lelaki ini kaya raya, baik, tidak sombong walaupun orang kaya, sopan kepada orangtuanya, dan tidak lupa pada orangtuanya walaupun orang tua itu berasal dari kampong. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
 “Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayo, Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil.
Istri adalah istri dari lelaki dan menantu ayah atau orangtua. ia memiliki sikap baik hati, turut pada suami, tidak sombong, dan sopan terhadap mertuanya. Hal ini bias di lihat dari cuplikan berikut:
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.

3. Latar
Dalam kaitannya dengan analisis latar, latar ini terbagi ke dalam dua aspek, yaitu, latar tempat dan latar waktu. Adapun hal-hal yang melatar dalam cerpen Si Lugu dan Si Malin Kundang adalah:
Latar tempat yaitu kompleks perumahan mewah, markas kepolisian, ruang markas, kamar kecil, gudang, mobil mewah, perempatan
”Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu…”
“Lelaki yang didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di sampingnya.
Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di perempatan. Mobil dia hentikan.
4. Tema
Tema adalah merupakan ide pokok sebuah cerita yang diyakini dan dijadikan sumber cerita.
Cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” mengangkat permasalahan yang berkenaan dengan problematika sosial yang berada di masyarakat dan  mengangkat permasalahan yang berkenaan dengan masalah kutukan. Kita dapat melihat bagaimana keraguan sekuriti dan polisi kepada orang tua yang hendak  bertemu anaknya karena alasan yang cukup sederhana, yaitu orang tua tersebut datang dari kampung. Tidak adil rasanya menilai seseorang hanya melihat dari latar belakangnya. Sampai akhirnya tokoh orangtua itu mengutuk polisi lalu lintas menjadi batu seperti pada kisah Malin Kundang.
5. Sudut Pandang pengarang
Dalam kaitannya dengan kehadiran pengarang dalam cerita, bahwa pengarang benar-banar tidak ada dalam cerita atau pengarang ada diluar cerita tersebut (ekstern) jika penulis di lihat dari sudut pandang pengarang.
Pada cerita ini tedapat sudut pandang pengarang dengan ekstern karena pengarang berada di luar cerita. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orangtua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu…”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS 4 Pengantar Komputasi Modern

Distributed Computation dalam Cloud Computing Cloud computing itu terdiri dari 2 kata, yaitu cloud dan computing. Secara harfiah cloud ad...